Belajar Dari Ajaran Kebajikan Hidup
Falsafah Ajaran Hidup Jawa memiliki
tiga aras dasar utama. Yaitu: aras sadar ber-Tuhan, aras kesadaran semesta dan
aras keberadaban manusia. Aras keberadaban manusia implementasinya dalam ujud
budi pekerti luhur. Maka di dalam Falsafah Ajaran Hidup Jawa ada ajaran
keutamaan hidup yang diistilahkan dalam bahasa Jawa sebagai piwulang (wewarah)
kautaman.
Secara alamiah manusia sudah
terbekali kemampuan untuk membedakan perbuatan benar dan salah serta perbuatan
baik dan buruk. Maka peranan Piwulang Kautaman adalah upaya pembelajaran untuk
mempertajam kemampuan tersebut serta mengajarkan kepada manusia untuk selalu
memilih perbuatan yang benar dan baik menjauhi yang salah dan buruk.
Namun demikian, pemilihan yang benar dan baik saja tidaklah cukup untuk memandu
setiap individu dalam berintegrasi dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat.
Oleh karena itu, dalam Piwulang
Kautaman juga diajarkan pengenalan budi luhur dan budi asor dimana pilihan
manusia hendaknya kepada budi luhur. Dengan demikian setiap individu atau
person menjadi terpandu untuk selalu menjalani hidup bermasyarakat secara
benar, baik dan pener (tepat, pas).
Cukup banyak piwulang kautaman dalam
ajaran hidup cara Jawa. Ada yang berupa tembang-tembang sebagaimana Wulangreh,
Wedhatama, Tripama, dll. Ada pula yang berupa sesanti atau unen-unen yang
mengandung pengertian luas dan mendalam tentang makna budi luhur.
Misalnya : tepa selira dan mulat
sarira, mikul dhuwur mendhem jero, dan alon-alon waton kelakon.
Filosofi yang ada dibalik kalimat
sesanti atau unen-unen tersebut tidak cukup sekedar dipahami dengan
menterjemahkan makna kata-kata dalam kalimat tersebut.
Oleh karena itu sering terjadi
”salah mengerti” dari para pihak yang bukan Jawa. Juga oleh kebanyakan orang
Jawa sendiri. Akibatnya ada anggapan bahwa sesanti dan unen-unen Jawa sebagai
anti-logis atau dianggap bertentangan dengan logika umum. Akibat selanjutnya
berupa kemalasan orang Jawa sendiri untuk mendalami makna sesanti dan unen-unen
yang ada pada khasanah budaya dan peradabannya.
Namun kemudian, sesanti dan
unen-unen tersebut dijadikan olok-olok dalam kehidupan masyarakat.
Mulat sarira dan tepa selira diartikan bahwa Jawa sangat toleran dengan
perbuatan KKN yang dilakukan kerabat dan golongannya.
Mikul dhuwur mendhem jero dimaknai untuk tidak mengadili orangtua dan pemimpin
yang bersalah.
Alon-alon waton kelakon dianggap
mengajarkan kemalasan.
Padahal ajaran sesungguhnya dari
sesanti dan unen-unen tersebut adalah pembekalan watak bagi setiap individu untuk
hidup bersama atau bermasyarakat. Tujuan utamanya adalah terbangunnya kehidupan
bersama yang rukun, dami dan sejahtera. Bukan sebagai dalil pembenar perbuatan
salah, buruk dan tergolong budi asor. Makna dari mulat sarira dan tepa selira
adalah untuk selalu mengoperasionalkan rasa pangrasa dalam bergaul dengan orang
lain.
Mulat sarira, mengajarkan untuk
selalu instropeksi akan diri sendiri.”Aku ini apa? Aku ini siapa? Aku ini akan
kemana? Aku ini mengapa ada?” Kesadaran untuk selalu instropeksi pada diri sendiri
akan melahirkan watak tepa selira, berempati secara terus menerus kepada sesama
umat manusia. Kebebasan individu akan berakhir ketika individu yang lain juga
berkehendak atau merasa bebas. Maka pemahaman mulat sarira dan tepa selira
merupakan bekal kepada setiap individu yang mencitakan kebebasan dalam hidup
bersama-sama, bukan?
Mikul dhuwur mendhem jero, meskipun
dimaksudkan untuk selalu menghormat kepada orangtua dan pemimpin, namun tidak
membutakan diri untuk menilai perbuatan orangtua dan pemimpin. Karena yang tua
dan pemimpin juga memiliki kewajiban yang sama untuk selalu melakukan perbuatan
yang benar, baik dan pener. Justru yang tua dan pemimpin dituntut ”lebih” dalam
mengaktualisasikan budi pekerti luhur. Orangtua yang tidak memiliki budi luhur
disebut tuwa tuwas lir sepah samun. Orangtua yang tidak ada guna dan makna
sehingga tidak pantas ditauladani. Pemimpin yang tidak memiliki budi luhur juga
bukan pemimpin.
Alon-alon waton kelakon, bukan
ajaran untuk bermalas-malasan. Namun merupakan ajaran untuk selalu
mengoperasionalkan watak sabar, setia kepada cita-cita sambil menyadari akan
kapasitas diri.
Contoh yang mudah dipahami ada dalam
dunia pendidikan tinggi. Normatif setiap mahasiswa untuk bisa menyelesaikan
kuliah Strata I dibutuhkan waktu 8 semester. Namun kapasitas setiap mahasiswa
tidaklah sama. Hanya sedikit yang memiliki kemampuan untuk selesai kuliah 8
semester tersebut. Sedikit pula yang prestasinya cum-laude dan memuaskan.
Rata-rata biasa dan selesai kuliah lebih dari 8 semester. Dengan
mengoperasionalkan ajaran alon-alon waton kelakon, maka mahasiswa yang
kapasitas kemampuannya biasa-biasa akan selesai kuliah juga meskipun melebihi
target waktu 8 semester.
Makna positifnya mengajarkan
kesabaran dan tidak putus asa ketika dirinya tidak bisa seperti yang lain.
Landasan falsafahnya, hidup bukanlah kompetisi tetapi lebih mengutamakan
kebersamaan.
Banyak pula kita ketemukan Piwulang
Kautaman yang berupa nasehat atau pitutur yang jelas paparannya. Sebagai contoh
adalah sebagai berikut :
“Ing samubarang gawe aja sok wani
mesthekake, awit akeh lelakon kang akeh banget sambekalane sing ora bisa dinuga
tumibane. Jer kaya unine pepenget, “menawa manungsa iku pancen wajib ihtiyar,
nanging pepesthene dumunung ing astane Pangeran Kang Maha Wikan”.
Mula ora samesthine yen manungsa iku
nyumurupi bab-bab sing durung kelakon. Saupama nyumurupana, prayoga aja
diblakakake wong liya, awit temahane mung bakal murihake bilahi.
Terjemahannya:
“Dalam setiap perbuatan hendaknya jangan sok berani memastikan, sebab banyak
sambekala (halangan) yang tidak bisa diramal datangnya pada “perjalanan hidup”
(lelakon) manusia.
Sebagaimana disebut dalam kalimat
peringatan “bahwa manusia itu memang wajib berihtiar, namun kepastian berada
pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Mengetahui”.
Maka sesungguhnya manusia itu tidak
semestinya mengetahui sesuatu yang belum terjadi. Seandainya mengetahui
(kejadian yang akan datang), kurang baik kalau diberitahukan kepada orang lain,
karena akan mendatangkan bencana (bilahi).”
Piwulang Kautaman memiliki aras kuat
pada kesadaran ber-Tuhan. Maka sebagaimana pitutur diatas, ditabukan mencampuri
“hak prerogatif Tuhan” dalam menentukan dan memastikan kejadian yang belum
terjadi